Sejarah Desa Kasimbar


SEJARAH SINGKAT KECAMATAN KASIMBAR
I.   Zaman Kerajaan
           Dahulu Kasimbar dikenal dengan nama Tanainolo yang artinya tanah terpotong, masyarakat hidup secara berkelompok-kelompok yang dikuasi oleh seorang Kepala Suku Gelar Toi Bagis dalam satu wilayah yang disebut dengan Boya. Daratan Kasimbar dahulu terbagi atas 7 Boya, yaitu ; Boya Mayapo, Boya Vintonung, Boya Liovung, Boya Sambali, Boya Tagali, Boya Apes dan Boya Ranang dan atas kondisi seperti itulah secara pelan-pelan tercipta nilai-nilai adat istiadat Kasimbar yang dikenal dengan sebutan Pitu Pole (artinya 7 bagian) atau sebutan lain yaitu Sanja Pitu.
           Suasana seperti diatas berjalan hingga akhir abad 16, ditandai dengan datangnya rombongan pelayar Orang-orang Mandar yang dipimpin oleh Puang Tomessu Gelar Arajang Taunai. Tujuan kedatangan orang-orang Mandar semula berdagang dan siar agama Islam, namun perlahan-lahan terjadi perkawinan dengan penduduk setempat hingga berhasil melahirkan keturunan bernama Datu Ranang. Disamping Puang Tomessu dikenal sebagai saudagar santun juga dikenal sebagai sosok pemberani, hal ini dapat buktikan dengan kegigihannya melawan Bajak Laut atau perampok asal Maluku Utara dengan Bayo Kubang dari Mindannao Philipina hingga akhirnya Bajak Laut tersebut mundur, atas kegigihan dan keberanian itulah hingga Puang Tomessu diakui sebagai Pemimpin Daratan Kasimbar.
           Beberapa Pemimpin besar yang dikenal berkuasa di wilayah Kerajaan Kasimbar yaitu :
1.    Puang Tomessu Gelar Arajang Taunai (1711-1762).
2.    Puataikacci Gelar Puang Logas (1762-1778).   
3.    Magalattu Gelar Pua Datu Mula (1778-1822), memegang kekuasaan sebagai Raja pertama di Moutong yang berkedudukan di Pulau Matoro.
4.    Buralangi Gelar Puang Lei (1895), dibantu oleh seorang Olongian yang bernama Sariani Gelar Olongian Gurang berkedudukan di Kasimbar dan Olongian Daeng Malindu yang berkedudukan di Toribut.
5.    Pawajoi Gelar Matoa, dibantu oleh seorang Olongian bernama To’eng.
6.    Suppu (1899-1901), dibatu oleh seorang Olongian yang bernama Tanggudi, Malafai sebagai Jogugu dan Lahia sebagai Kapitalau.
7.    Lamangkona Gelar Pue Sanjata (1902-1906).
8.    Pue Masaile Gelar Paduka Raja Muda (1907-1913), dibantu oleh seorang pabicara adat bernama Akas Bin Kadang Malingka, Anteng Palimbui sebagai Jogugu dan Bambalang sebagai Olongian.
      Dalam kekuasaan Raja Pue Masaile Yusuf sekitar tahun 1912 kerajaan Kasimbar di aklamasikan ke kerajaan Parigi sebagai wilayah yang berstatus Lanschap atau Distrik dibawah Onder Afdeeling Parigi, tawaran tersebut ditolak oleh orang tua-tua Kasimbar. Akhirnya pada tahun 1913 kedudukan Distrik ditempatkan di Toribut dengan Kepala Distrik pertama adalah Daeng Palewa (1913-1915) dan pada tahun 1915-1918 oleh Pemerintahan Belanda mengangkat Raja Muda Masaile menjadi Kepala Distrik kedua yang berkedudukan di Toribut, maka Kerajaan Kasimbar tinggallah sebuah kenangan. Dan karena tuntutan zaman atas perubahan sistim Pemerintahan di Negara RI, Eks wilayah Kerajaan Kasimbar menjadi sebuah Kampung/Desa dibawah Pemerintahan Kecamatan Ampibabo hingga akhir tahun 2004.
II.  Zaman Pembentukan Kecamatan 
           Kondisi alam dan geografis Kecamatan Kasimbar yang cukup menjanjikan, tanahnya subur yang cocok untuk pertanian/perkebunan, lautan Teluk Tomini yang menghias panorama Kasimbar yang kaya dengan hasil lautnya serta hutan-hutan terpancang indah di atas pegunungan, Tambang di perut bumi seakan bernyanyi merindukan jemputan tangan-tangan terampil anak-anak Kasimbar. Karena itulah hingga daerah Kasimbar menjadi daerah tujuan dari masyarakat sekitarnya.
               Sejak tahun 1960-an pemuda-pemuda asal Kasimbar telah terpacu untuk mendapatkan pendidikan di Kota Palu, Parigi dan kota-kota lain di Sulawesi dan Pulau Jawa, hingga akhirnya mereka telah berhasil menjadi PNS, Swasta dan bahkan Pejabat di Instansi Pemerintah Kabupaten Donggala ketika itu dan  Propinsi Sulawesi Tengah.
           Pada tahun 1985 pemuda dan pelajar yang berasal dari 3 Desa Eks Desa Kasimbar (Kasimbar, Posona, Laemanta) membentuk sebuah organisasi yang bertujuan untuk menghimpun dan mengkoordinir pemuda dan pelajar asal 3 Desa tersebut yang diberi nama Ikatan Pemuda Pelajar Kasimbar, Posona dan Laemanta (IPPKPL), kemudian organisasi tersebut berkembang lebih luas lagi dengan nama Ikatan Keluarga Kasimbar, Posona dan Laemanta (IKKPL) dan organisasi IKKPL inilah yang menjadi embrio mengilhami ide untuk membentuk Kecamatan Kasimbar. Ide cemerlang tersebut ditindak lanjuti dengan musyawarah bersama antara Pemerintah di 3 Desa, tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh pemuda bertempat di balai pertemuan Bantayan Desa Kasimbar dengan menghasilkan 2 butir kesepakatan yaitu :
1.  Menyetujui agar wilayah IKKPL dapat dijadikan satu wilayah kecamatan yang baru dari pemekaran Kecamatan Ampibabo.
2.  Membentuk tim pekerja persiapan pemekaran Kecamatan Kasimbar yang terdiri dari 2 tim, masing-masing :
a.      Tim satu, membidangi urusan dalam yang terdiri dari 3 orang Kepala Desa, pengurus LMD, LKMD 3 Desa dan para Kepala-Kepala Dusun di 3 Desa.
b.  Tim dua, membidangi urusan luar terdiri dari para tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama dan tokoh pemuda yang berasal dari 3 Desa termasuk yang berada di Kota Palu saat itu. 
Pada tanggal 16 Januari 2001 dilaksanakan kembali musyawarah bertempat di Kantor SKB Kabupaten Donggala di Palu. Pertemuan ini sebagai tindak lanjut dari pertemuan sebelumnya dengan maksud untuk sosialisasi tujuan pembentukan Kecamatan Kasimbar yang menghasikan keputusan membentuk Tim Formatur untuk menyusun komposisi Badan Pekerja Persiapan Pembentukan Kecamatan Kasimbar (BP3K) yang terdiri dari 1 orang ketua, 1 orang sekretaris dan 19 orang anggota.
Tim atau badan yang dibentuk tersebut bertugas antara lain melakukan audiens/koordinasi dan konsultasi dengan Gubernur Propinsi Sulawesi Tengah, DPRD Propinsi Sulawesi Tengah, Pemerintah Daerah Kabupaten Donggala, DPRD Kabupaten Donggala dan para tokoh masyarakat/pemuda asal pantai timur yang berada di kota Palu.
Dari hasil audiens dengan Gubernur Propinsi Sulawesi Tengah disepakati rencana pertemuan terbuka masyarakat Kecamatan Kasimbar dengan Gubernur Propinsi Sulawesi Tengah di Kasimbar pada tanggal 18 Pebruari 2001. Pada pertemuan tersebut Gubernur Propinsi Sulawesi Tengah menyatakan prinsip mendukung pembentukan Kecamatan Kasimbar sebagai pemekaran dari Kecamatan Ampibabo dan memberikan  petunjuk tentang syarat pembentukan sebuah Kecamatan minimal memiliki 4 (empat) desa. Atas petunjuk itulah muncul inspirasi untuk melakukan pemekaran desa yang mendapat tanggapan positif dari Pemerintah Daerah Kabupaten Parigi Moutong untuk pemekaran Desa Kasimbar yaitu Kasimbar Selatan dan Kasimbar Barat dalam status Desa Persiapan sesuai Surat Keputusan Bupati Parigi Moutong                                                 Nomor : 188.45/23.50/Bag.TAPEM dan Nomor : 188.45/233.51/Bag.TAPEM tanggal 17 Oktober 2003. Melihat kerja tim BP3K meredup, maka dibentuklah Tim Sukses Pembentukan Kecamatan Kasimbar yang beranggotakan sembilan orang. Tim Sembilan inilah yang mengurus proposal pembentukan Kecamatan Kasimbar dan sekaligus mengantar, berkoordinasi dan berkonsultasi dengan Pemerintah Daerah dan DPRD Parigi Moutong. Koordinasi dan konsultasi Tim Sembilan membuahkan hasil dengan kunjungan PANSUS III DPRD bersama Pemerintah Daerah Parigi Moutong pada tanggal 3 Juni 2004, dari hasil kunjungan PANSUS ternyata menuai kendala karena untuk menjadi satu Kecamatan minimal harus 4 Desa Devinitif.
Untuk merealisasikan impian masyarakat Kecamatan Kasimbar, maka negosiasi dan konsolidasi dikhususkan dilakukan ke Pemerintah Desa Donggulu, hingga pada tanggal 5 Juni 2004 Kepala Desa Donggulu melakukan rapat dengan para tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh perempuan se Desa Donggulu yang disaksikan oleh Pemerintah Daerah Parigi Moutong dan disepakati wilayah Desa Donggulu masuk kedalam wilayah Kecamatan Kasimbar.
Akhirnya perjuangan pembentukan Kecamatan yang cukup panjang dan melelahkan telah menjadi kenyataan setelah DPRD Parigi Moutong mengesahkan PERDA pembentukan Kecamatan Kasimbar Nomor 14 Tahun 2004 tanggal 7 Agustus 2004 dan diresmikan Pemerintahannya pada tanggal 28 Agustus 2004 pukul 10.45 wita di Balai Pertemuan Bantayan Kasimbar.

Sejarah Tinombo

 SEJARAH TINOMBO
Tinombo, kota Tinombo sesunggguhya berasal dari kata tinombusul, berasal dari bahasa lauje yg berarti sudah di tebus. karena apabila orang2 yg akan mengambil obat dari pada akar2 kayu atau mengambil emas harus memberikan tebusan, berupa uang perak sebanyak satu tali.yg nilainya sebanyak 25 sen. Sesuai dengan pesan leluhur orang lauje dalam ungkapannya sebagai berikut : “pepeluma to Tinombo, nya masalah pikiranomo, tulaiu petu wogo.
yg artinya: ku pesankan kepada anak Tinombo, jangan salah pemikiran anda, atau di bohongi. di laknat oleh tanah dan air.
tempat tersebut letaknya di daerah pegunungan yg letaknya sekitar 7km, dari sebalah barat, desa lombok sekarang. disitulah tempatnya. dataran rendah tinombo di sebut siavu. yg artinya kabur.karena setiap orang menuju Tinombo dari kejauhan di tengah laut memandang ke hulu Tinombo di liputi kabut (awan). pula setelah menginjakan kaki di dataran rendah Tinombo, nampak sebelah selatan dan utara tumbuh menjulang pohon kapuk atau avu avu, dalam bahasa lauje siavu adalah pemukiman penduduk lauje yg di ketemukan oleh Suwalipu (Olongian meegang mata).
Setelah lama tinggal di daerah pegunungan yg bernama Tinombo. tempat tersebut mulanya hutan belukar sekarang menjadi desa, tempat pemukiman penduduk.
Keadaan Alam dan penduduk.
Daerah Tinombo di antarai dua sungai yaitu sungai Palasa di sebelah utara dan sungai Bainaa di sebelah selatan. sedangkan pada bagian baratnya adalah kecamatan Damsol dan sebelah timur dengan teluk Tomini. wilayah ini mengenal dua musim yakni musim hujan dari bulan april sampai dengan bulan agustus. dan musim kemarau dari bulan september sampai dengan bulan maret secara teratur.penduduk Tinombo sebagian besar menggunakan bahasa lauje dan mata pencahariannya bertani. pada zaman sebelum kedatangan Belanda penduduk Tinombo hidupnya masih sederhana, pakaian mereka masih menggunakan bahan dari kulit kayu. selain usaha bertani penduduk juga menangkap ikan di laut. cara bertani penduduk masi berladang dan berpindah pindah, selain menggunakan waktunya mengambil damar, rotan, dan kayu hitam (Eboni), untuk di jual sebagai tambahan nafkah hidup.
Sistem pemerintahan pada zaman kekuasaan Olongian di bagi bagi menjadi perkampungan. nama nama yg pernah menjadi kepala kampung:
1. Djaudjali
2. Lodji
3. Dg Matjora dg Malino
4. A Illimulah
5. Dg Palalo Dg Malino
6. Sukara
7. Orbou
8. S Lamane (3-2-1950 sd 30-4-1952)
9. K Maraila (1956 sd 1959)
10. D.P Kambay (1960 sd 1968)
11. Hani dg Malino
12. A Illimulah (1971 sd 1972)
13. Man Tjaolo (1973 sd 1980)
14. Mudik dg Malondeng (1981 sd 1985)
15. Pasil Madurika (1986 sd 1996)
16. Andi Wala Tombolotutu (1997 sd 2000)
17. Djamal T Salunggu (2001 sd 2006)
18. Masudin (2007 sd Sekarang.
Tinombo sebagai Ibu Kota Swapraja Moutong di perintah oleh raja2,
1. Raja dg Malino
2. Raja Borman
3. Raja Saenso Lahiya
4. Raja Hi Kuti Tombolotutu (1925 sd 1965)
Tahun berdirinya Tinombo Oktober 1904.

suku lauje


Suku Lauje ini bermukim mulai kecamatan palasa sampai kecamatan Tinombo. Suku Lauje dipimpin oleh Olongian (kepala suku). Suku ini mengadakan upacara adat kesyukuran yang diistilahkan Momasoro setiap tahun sekali. Upacara adat Momasoro dilaksanakan selama 7 hari, selama kegiatan upacara, setiap malam diadakan diskusi dengan para Sando atau anggota suku yang tubuhnya dimasuki roh halus. Upacara adat ini diakhiri dengan pelepasan perahu di muara sungai Tinombo.


Suku Lauje Siavu yang berdiam di pegunungan di sepanjang Teluk Tomini provinsi Sulawesi Tengah. Suku Lauje Siavu, terdiri dari 3 klan, dan terdiri dari 44 keluarga, dengan populasi 206 orang. Suku Lauje Siavu masih mempertahankan tata cara hidup sederhana, terpencil dan mempertahankan cara-cara kuno, seperti yang dilakukan oleh nenek moyang mereka..
Suku Lauje dengan embel-embel "siavu", istilah siavu berarti "samar-samar". Ini karena puncak pegunungan ini selalu diliputi kabut tebal, sulit terlihat. Istilah siavu identik dengan masyarakat yang tetap bertahan di dataran tinggi, tak terlihat dan terasing.

Masyarakat suku Lauje di Parigi Moutong kecamatan Tinombo, mempunyai tradisi unik dalam menerima tamu atau pembesar yang baru berkunjung ke daerahnya. Mereka akan menyambutnya dengan Tari Perang yang dimainkan oleh 4 laki-laki yang menggunakan guma (parang panjang), serta dua orang yang memegang tombak. Tarian ini juga diiringi musik yang terdiri dari susulan balok kayu, gendang dan gong besar. Tari Perang ini disebut juga sebagai Meaju. Biasanya dilaksanakan saat menerima tamu. Saat tari berlangsung dan tamu diarak, 3 orang anggota komunitas suku Lauje memainkan alat musik yang terdiri dari Tadako, Kulintang, Gimbale (gendang) dan Gong besar.
Suku Lauje dalam bertahan hidup, masih menjalankan cara-cara lama, seperti berburu binatang liar di hutan, atau memanfaatkan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Beberapa dari mereka telah mencoba teknik bercocok tanam, walau masih sangat sederhana, tetapi hal ini sudah membuat suku Lauje selangkah lebih maju dari sebelumnya